Kehidupan Setelah Kehidupan

Daur Ulang Manusia

Henry Darmawan

Sumber: Bios Urn Website (www.urnabios.com)

Sumber: Bios Urn Website (www.urnabios.com)

Sumber: Bios Urn Website (www.urnabios.com)

“Ketika kamu mati, apakah kamu ingin menjadi makanan cacing atau makanan tupai ?” pertanyaan ini menghentakan pemikiran saya ketika membacanya dari sebuah web. Saya jadi teringat di akhir taun 2012 di mana Nenek saya meninggal di akhir tahun tersebut dan membayangkan sekarang apa yang tengah terjadi dengan jasadnya yang dikuburkan.

Saya tahu betul bahwa kematian bukanlah hal yang murah. Mulai dari pembelian tanah untuk meletakan jasad, peti seharga jutaan, kemudian memasang hiasan mulai dari batu alam sampai nisan marmer lengkap dengan segala grafir tulisannya yang menguras banyak uang. Bahkan sejak pemakaman, hanya 1x saya mengunjungi almarhum. Kemudian saya berpikir kenapa kita membuang sedikitnya 2m2 luas dari permukaan bumi dan melapisinya dengan batu atau marmer, atau hanya segundukan tanah yang memiliki kandungan sangat subur karena mineral dari jasad kita hanya untuk tempat tinggal cacing dan belatung ?

Apakah ketika kita meninggal nanti kita akan mengurangi 2m2 dari luas bumi yang selamanya akan menjadi kuburan kita ?Atau kita memilih dibakar dan tinggal dalam sebuah Urn ? Atau mungkin abu kita ditaburkan di lautan?

Di Indonesia sendiri kini bisnis kuburan menjadi salah satu bisnis yang sedang naik daun. Sebut saja kawasan San Diego Hill atau pemakanan Al Azhar yang merupakan pemakaman mewah yang dilengkapi dengan kolam renang, café, tempat ibadah, dan pusat rekreasi. Saya sungguh tidak habis pikir kenapa orang berbondong-bondong membeli dan menghabiskan begitu banyak uang untuk menguburkan sebuah jasad di tempat mewah yang mereka kunjungi mungkin hanya 1 tahun 1 kali, atau bahkan lebih jarang lagi. Dan lebih dari itu, jasad di tempat mewah ataupun bukan tetap saja akan terdekomposisi menjadi makanan cacing.

Pada tahun 2007, Mary Woodson melakukan riset dan menemukan 827.060 galon embalming fluid, 90.272 ton baja (dari peti), 2.700 ton timah dan tembaga (dari peti), 1.636.000 ton beton (hiasan pemakaman / vaults), 14.000 ton baja (hiasan pemakaman / vaults), serta 30juta lebih papan seukuran 1 kaki dari kayu. Kandungan ini semua yang terdapat pada kuburan di Amerika Serikat.

Rata-rata angka kematian manusia setiap hari adalah 67,000 jiwa dalam 1 hari (sumber: http://m.worldometers.info). Jika setengahnya dikuburkan dan setengahnya dibakar maka ada sekitar 18,000 m2 tanah yang digunakan sebagai kuburan setiap harinya. Angka ini memang angka yang kecil jika dibandingkan dengan luas daratan bumi. Setidaknya jika setiap hari 67,000m2 dihabiskan untuk menjadi lahan berkembang biak cacing dan belatung maka masih membutuhkan 5,9 juta tahun untuk membuat seluruh permukaan bumi ini menjadi kerajaan cacing.

Tapi isu yang perlu kita pikirkan adalah apakah jasad kita memang hanya untuk kejayaan para cacing? Bagaimana kita bisa mendaur ulang jasad manusia menjadi kehidupan? Mungkinkah hal itu terjadi?

Hukum Kekekalan Energi

Saya kembali teringat dengan sebuah film yang saya tonton ketika saya kuliah berjudul The Fountain karya Dareen Aronofsky pada tahun 2006. Film ini dibintangi oleh Hugh Jackman, Rachel Weisz, dan Ellen Burstyn. Saya tidak akan menceritakan kisah lengkapnya di sini tapi ada sebuah pesan yang terus saya ingat dari film ini. Setelah saya menonton film ini saya ingin ketika saya mati, saya dikuburkan dan di atas jasad saya ditanam sebuah pohon agar energi dan mineral di tubuh saya menjadi nutrisi pohon yang menghasilkan oksigen dan juga buah bagi mereka yang masih hidup.

Ketika saya membagikan apa yang saya pikirkan pada teman-teman, mereka berkata bahwa anak-anak saya kelak akan memiliki pohon angker di belakang rumah dengan nada bercanda. Tapi saya rasa itu adalah halangan yang terbesar yang ada di masyarakat asia di mana hantu dan kuburan masih sangat kental.

Untuk menjawab rasa angker ternyata beberapa designer di daerah Eropa telah mengembangkan sebuah desain pemakaman yang lebih murah dan juga ramah lingkungan. Misalnya saja yang dikembangkan oleh Martin Azua seorang Spanyol yang menciptakan Bios Urn, yaitu sebuah biodegredable Urn yang dapat menyimpan abu manusia dan mengubahnya menjadi pohon. Bahkan pada website-nya Martin Azua membantu penggunanya untuk mengkampanyekan keinginan terakhir seseorang untuk menjadi pohon menjadi salah satu wasiat berbasis media sosial untuk mengembangkan produknya. Selain Bios Urn ada juga The Spirit Tree yang memiliki konsep mirip.

Sumber: Big Think

Sumber: Big Think

(www.bigthink.com/design-for-good/if-you-liked-the-bios-urn-youll-love-the-spirit-tree)

(www.bigthink.com/design-for-good/if-you-liked-the-bios-urn-youll-love-the-spirit-tree)

Dengan menggunakan produk Bios Urn / Spirit Tree maka abu sisa pembakaran manusia / hewan peliharaan dapat disimpan dalam wadah dan dikuburkan untuk kemudian berubah menjadi pohon. Ide dasarnya sebenarnya sama dengan yang saya pikirkan ketika menonton The Fountain akan tetapi dengan desain yang lebih menarik, praktis, serta tidak melibatkan menanam mayat, menjadikan produk ini mungkin salah satu produk yang bisa kita bangun dan kampanyekan bahkan di Indonesia.

Urn tersebut memiliki bahan 100% biodegradable, terbuat dari batok kelapa, peat, dan selulosa yang akan terurai. Sebetulnya lebih baik jasad yang dikuburkan bersamaan dengan benih karena jasad memiliki kandungan mineral yang dibutuhkan oleh tanaman lebih banyak daripada hasil pembakaran dalam sebuah urn.

Kematian adalah suatu fase yang akan ditemui oleh setiap manusia, hanya saja bagaimana kita bisa memberikan warisan terakhir bagi generasi selanjutnya. Daripada kita hanya meninggalkan batu nisan serta pesta besar bagi para cacing di tanah, bukankah lebih baik jika energi mineral yang kita miliki menjadi nutrisi bagi pohon yang juga menyerap CO2, menghasilkan oksigen, dan mungkin juga menghasilkan buah.

Sumber : Bios Urn website (www.urnabios.com)

Sumber : Bios Urn website (www.urnabios.com)

Bayangkan jika setiap hari ada setidaknya 20,000 pohon (di bawah 30% dari angka kematian 1 hari) yang ditanam dalam bentuk kuburan, maka kita akan menanam setidaknya 6 sampai 7 juta pohon setiap tahun di berbagai belahan dunia. Bayangkan sebuah pemakaman / kuburan akan berfungsi sebagai hutan penghasil oksigen dan cagar alam. Jika diterapkan di Indonesa, misalnya di daerah Jakarta, maka pemakaman hutan maka bisa juga sebagai daerah resapan air.

Selain memberikan efek lingkungan yang baik, secara materipun penggunaan ide untuk mengubah jasad menjadi pohon jauh lebih ekonomis karena tidak memerlukan hiasan marmer, beton, dan hiasan lainnya. Dari segi perawatan juga jauh lebih mudah dan ramah lingkungan.

Pilihan Menghadapi Kematian

Pada artikel yang ditulis oleh C.A.Beal tentang “Jadilah Pohon; Petunjuk Kuburan Alami untuk Mengubah Dirimu Menjadi Hutan.” Dibahas mengenai berbagai macam sejarah dari kuburan dan bagaimana tradisi serta budaya dari berbagai daerah tentang menguburkan jenasah. Mulai dai dibakar, dibakar di laut/sungai (seperti dalam film-film kerajaan medieval) sampai dibalsam dan lainnya. Menurut beliau, kematian adalah fase yang harus dijalani oleh setiap manusia dan bagaimana cara kita dikuburkan itu adalah sebuah pilihan untuk menjalani fase tersebut. Apakah pilihan kita akan menghadapi kematian itu adalah sebuah pilihan yang tepat ? Apakah kita memandang kematian sebagai sebuah akhir? Ataukah kita memandang kematian merupakan sebuah kegiatan penciptaan?

Pada akhirnya jika hanya satu atau dua orang yang melakukannya efeknya tidak akan sebanding jika banyak orang yang melakukannya. Jika kita bisa mengubah kebiasaan dan kebudayaan kita dalam melakukan pemakaman maka generasi ini akan memberikan sumbangsih bagi generasi sesudahnya. Apakah generasi kita akan mewariskanbatu nisan? Atau hutan?

 

SUMBER

http://bigthink.com/design-for-good/if-you-liked-the-bios-urn-youll-love-the-spirit-tree

http://www.beatree.com/

Home

http://www.imdb.com/title/tt0414993/

http://m/worldometers.info

 

RumputAlunAlun.bdg

logo itb 1920Di awal kuliah Desain Berkelanjutan di Magister Desain ITB, seperti biasa mahasiswa peserta kuliah, dalam kelompok, diminta untuk mempresentasikan secara ringkas pemahaman mereka mengenai isu ekologi, keberlanjutan, dan kontribusi Desain terhadap isu tersebut, baik positif maupun negatif. Kali ini, ada beberapa topik yang diangkat, mulai dari limbah medis, energi, gawai, hingga polusi, dan ada juga mengenai lingkungan kota yang membahas rumput sintetis di Alun-Alun Kota Bandung. Rumput sintetis di Alun-Alun Bandung ini memang lumayan hangat dibicarakan, terutama di media sosial, sejak baru terpasang. Bagaimana tanggapan sekelompok mahasiswa S2 Desain mengenai hal tersebut?

Bahasan mengenai rumput sintetis ini dimulai dengan asal material itu sendiri.

Slide1Slide2Rumput sintetis yang diimpor telah sarat jejak beban ekologi akibat berlangsungnya proses distribusi, transportasi, dan sebagainya. Ada hal-hal positif dan negatif seputar penggunaan rumput sintetis di Alun-Alun Bandung ini. Kelebihannya adalah dalam hal perawatan, daya tahan (durability), dan harga. Kekurangannya adalah ketidak-mampuannya menghasilkan oksigen seperti halnya rumput hidup, adanya substansi berbahaya yang dikeluarkan material tersebut, dan tidak dapat hancur secara biologis (non-biodegradable).

Slide3Slide4Perawatan rumput sintetis ini pada dasarnya berupa pembersihan dari sisa-sisa makanan/minuman, dan sampah-sampah lain, termasuk kotoran hewan dan permen karet(!) yang paling sulit dilakukan. Perawatan lanjutan memerlukan peralatan khusus, seperti sikat untuk meluruskan tekstur rumput, penghawaan, dan lain-lain. Lalu ada pula bahan pembersih yang biasa digunakan untuk memelihara rumput sintetis ini, seperti cairan penghilang minyak dan jamur, sekaligus pewangi.

Slide5Slide6Berbagai jenis perawatan ini memang tidak mudah, tapi Pemerintah Kota Bandung memang memiliki alasan tersendiri untuk menerapkan rumput sintetis, bukan rumput hidup, di Alun-Alun Bandung; antara lain adalah karena adanya basement di bawahnya. Pertimbangan ini tidak dibahas lebih lanjut dalam sesi ini, karena yang lebih menarik adalah adalah berbagai skenario perlakuan rumput sintetis ini bila masa pakainya telah berakhir. Keputusan menjadikannya material daur-ulang maupun pakai-ulang tentu tergantung kualitasnya di akhir siklus pakainya nanti. Tentu saja, makin ia dipergunakan dan dirawat dengan baik, makin tahan lama.

Dalam diskusi, disepakati bahwa perilaku pengguna warga Bandung terhadap rumput sintetis ini juga sangat penting. Minimal dengan tidak meninggalkan sisa makanan/minuman pada permukaan rumput ini, dan menjaga kebersihannya dari kotoran lain seperti lumpur/tanah pada sepatu, dan lain-lain. Karena, sebagus apa pun fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Kota, tidak akan bisa bertahan bila warga tidak turut aktif dalam mempergunakan berbagai fasilitas tersebut secara wajar dan turut memeliharanya.

 

Tautan terkait: