Iklan Luar Ruang dan Ekologi Visual Kota di Indonesia

M. Syahril Iskandar

(UTS DS5025 Sm.II/2010-2011)

Maraknya Media Iklan Luar Ruang di setiap sudut kota tanpa diimbangi pelaksanaan aturan yang jelas, baik dari segi desain, dimensi, maupun peletakannya dari pemerintah membuat kota tampak semrawut (tidak tertata dengan baik). Pemandangan ini dapat ditemukan di hampir keseluruhan kota-kota besar di Indonesia. Belum lagi, kondisi ini diperburuk ketika masuk musim kampanye partai politik dan calegnya. Setiap sudut jalan dapat ditemukan baligho, reklame dan berbagai media iklan luar ruang lainnya dengan berbagai ukuran yang terpajang secara sembarang. Berikutnya, karena tidak adanya tindakan dari pemerintah untuk mencopot baligho, reklame dan media iklan luar ruang lainnya yang sudah melebihi batas akhir pemasangan,sehingga menjadi sampah yang kian memperburuk citra kota tersebut.

Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Jogjakarta menjadi tempat di mana reklame bermunculan tanpa mengikuti aturan yang ditetapkan. Sebagai contoh, di Surabaya reklame berukuran besar, memiliki materi iklan sebuah produk rokok yang berdiri di depan dealer mobil samping Graha SA, dari pantauan lapangan, kaki reklame berdiri di badan jalan atau di luar torotoar. Padahal sesuai Perda 8/2006 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Pajak Reklame, dinyatakan jika reklame tidak boleh berdiri di badan jalan. Itu termuat dalam pasal 19 ayat (1) huruf h yang berbunyi, penyelenggaraan reklame di lokasi bukan persil harus memenuhi ketentuan kaki kontruksi tidak boleh berada saluran air, sungai atau badan jalan. Sedangkan reklame ini dua kaki kontruksinya berada di badan jalan.

Malioboro sebagai pusat wisata Jogjakarta, dipenuhi oleh reklame sepanjang jalan. Wisatawan asing yang tertarik pada arsitektur unik harus bersusah susah untuk melihat dari sisi terbaik dari Apotek Kimia Farma di Depan Hotel Garuda. Padahal apotek ini merupakan Bangunan Cagar Budaya (BCB) yang saat ini tertutupi oleh papan reklame.

Di Bandung data Tim Penertiban Reklame Satpol PP menunjukkan dari 21 reklame yang terpasang di jembatan penyebrangan orang (JPO), hanya satu reklame yang tidak memiliki izin yakni di Jalan Pajajaran. Dari 21 reklame tersebut dua milik pemerintah daerah (Pemda) dan 19 milik swasta, yang milik swasta 18 reklame tersebut mempunyai izin tapi sudah habis. Sedangkan satu tidak punya izin. Sementara untuk billboard, ada 56 buah yang bermasalah terletak pada titik lelang, yaitu lokasi yang belum diperbolehkan dipasang materi iklan. Wajah-wajah kota di segenap wilayah Indonesia dan ruang publiknya yang sudah semrawut didominasi aneka iklan media luar ruang (outdoor media) produk-produk konsumsi kapitalisme global. Poster, billboard, pamflet, baliho, banner, spanduk, bendera bahkan mural dan graffiti dengan beragam ukuran, desain, dan material cetaknya ditempel, dipaku, ditali, di-display, dicorat-coretkan nyaris di seluruh sudut dan penjuru ruang publik dan ruang privat kota.

Banyak faktor yang seharusnya diperhatikan dalam penataan sebuah kota. Struktur kota, ekologi perkotaan, citra visual kota, sampai pada hal-hal yang bersifat abstrak seperti karakter kota.

Sistem Ekologi Visual Kota

Sistem ekologi visual kota merupakan faktor yang sangat penting dalam menciptakan kota yang sehat dan berkelanjutan. Pertumbuhan kota yang sangat pesat seringkali membuat keseimbangan lingkungan terganggu. Kehadiran masa bangunan dan sistem jaringan jalan raya yang memenuhi lingkungan perkotaan, seringkali dilakukan dalam mengakomodasi kepentingan ekonomi dan industri belaka, sementara kepentingan lingkungan menjadi terabaikan. Dampak yang sangat jelas dirasakan adalah terjadinya banjir, polusi udara, suhu udara yang meningkat, pencemaran air, dan permasalahan lingkungan lainnya.

Kurangnya ruang-ruang terbuka yang berfungsi sebagai ruang ‘penangkap angin’ juga menjadi faktor penyebab lainnya. Seperti halnya sebuah rumah, kota memiliki sistem ventilasi udara yang sangat buruk karena ketidakseimbangan wilayah terbangun (solid) dan wilayah terbuka (void).

Dalam konteks makro, seperti yang disampaikan oleh Parmonangan Manurung, ST, dalam tulisannya berjudul Indonesia sudah mendesak menata kota secara komprehensif dijelaskan bahwa:

“….penataan elemen-elemen perkotaan sangat berpengaruh pada kondisi pergerakan angin. Penataan massa bangunan dan ruang-ruang terbuka,  perbandingan tinggi bangunan dan lebar jalan, serta penataan elemen vegetasi (urban green) memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kecepatan aliran angin pada sebuah kota…”

Menempatkan reklame pada tempatnya secara baik, akan mengurangi dampak buruk dan kesemrawutan kota yang ditimbulkannya.

Melihat kondisi ekologi visual kota di Indonesia, justru kota-kota kecil, terutama yang berada di Daerah Tingkat II yang mampu menciptakan sistem ekologi visual kota yang baik. Hanya saja, perkembangan kota-kota tersebut harus senantiasa dipantau agar tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan kota-kota besar. Dengan tetap mempertahankan sistem ekologi visual kota, bukan berarti perkembangan kota dan dunia periklanan di Indonesia terutama kota-kota besar akan menjadi terhambat. Sebuah kota tetap dapat berkembang, baik secara fisik maupun non fisik, bahkan mampu menjaga keberlangsungannya (sustainable).

Reklame dan Lingkungan

Untuk menciptakan citra visual yang baik, harus dilakukan penataan secara menyeluruh pada elemen-elemen visual kota, seperti desain bangunan yang kontekstual dengan elemen kota lainnya, furnitur jalan, elemen vegetasi, lampu jalan, bahkan sampai penataan papan-papan reklame.

Kota-kota di Indonesia seringkali belum memperhatikan pentingnya penciptaan citra visual yang baik. Papan-papan reklame bermunculan tanpa adanya aturan yang jelas, baik dari segi desain, dimensi, maupun peletakannya. Kondisi ini seringkali menyebabkan terjadinya polusi visual di lingkungan perkotaan. Wajah kota menjadi kacau dan tidak mampu menunjukkan jati diri yang sesungguhnya. Tampilan bangunan, furnitur jalan, dan media informasi hadir tanpa adanya arahan rancangan (design guidelines) yang jelas, dan yang terjadi tentu saja kualitas kota yang buruk.

Citra visual kota sangat terkait dengan terbentuknya identitas sebuah kota, sebuah jati diri yang membuat kota dikenal secara spesifik dan berbeda dengan kota-kota lainnya. Namun tentu saja, hanya citra visual yang baik yang mampu memberikan identitas yang baik pula, dan di lain sisi, citra kota yang buruk akan memberikan identitas yang buruk pada kota tersebut.

Kasus paling nyata dari chaos-nya ekologi visual yang mempengaruhi tata kelola visual kota adalah serangkaian teror visual yang dilakukan partai-partai politik beserta para calegnya (calon legislatif) saat berlangsungnya kampanye.

Dengan kreatifitas yang sangat pas-pasan dan nyaris seragam, wajah para caleg dengan pose yang gesture-nya statis membosankan lengkap dengan senyum narsisnya, mengisi bidang-bidang gambar tampilan visual media-media kampanye yang disebar-luaskan itu.

Gambar 1. Baligho dengan menggunakan paku

Gambar 2. Penempatan Baligho yang semrawut

Hampir di semua perempatan, pertigaan dan jalan-jalan strategis berisi reklame beragam foto diri calon legislatif dengan berbagai ukuran. Dari yang kecil hingga jumbo. Teror visual yang dilancarkan pada media ini memang jarang memperhatikan perspektif berbeda bahwa tindakan mereka membahayakan pengguna jalan merusak konsentrasi berkendara, membuat suasana jalan tambah ramai semrawut, merusak infrastruktur di sepanjang jalan raya bahkan merusak keindahan pohon (ironis), dan membuat suasana hati manusia bertambah runyam.

Terkait dengan pembentukan jati diri atau identitas sebuah kota, kekhasan kota yang berangkat dari kearifan lokal dapat menjadi titik tolak pembentukan ekologi visual. Dengan tetap berpihak pada nilai-nilai budaya lokal, sebuah kota akan mampu membentuk karakter yang kuat dan membedakannya dari kota-kota lain.

Penghargaan terhadap arsitektur lokal dan bangunan-bangunan lama harus diberikan, langkah ini bukan berarti menjadikan kota sebagai ‘museum hidup’, namun lebih pada suatu upaya dalam mempertahankan kekhasan kota. Pembangunan gedung-gedung baru sebaiknya berangkat dari pencarian dan pengembangan pada arsitektur lokal, serta memperhatikan secara kontekstual bangunan-bangunan lama yang masih tersisa.

Daftar Referensi

Prasetyowibowo, Bagas. 2002. Manajemen Desain. Bandung:Yayasan Delapan Sepuluh

Sachari, Agus. 1986. Desain, Gaya dan Realitas. Jakarta:CV Rajawali

Farbey, AD. 1997. How to Produce Succesful Advertising, Marketing in Action Series. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama

Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta:Erlangga

Subakti, Baty. 1993. Reka Reklame: Sejarah Periklanan Indonesia 1744 – 1984. Yogyakarta:Galang Press

Sumarwan, Ujang.2002.Perilaku Konsumen:Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia

http://www.gong.tikar.or.id

http://www.pikiran-rakyat.com

http://dasarbali.wordpress.com

Leave a comment